Sabtu, 20-04-2024
  • MAN 6 Ciamis Ber-ADAB (Agamis, Disiplin, Amanah dan Berprestasi)

Kegagalan Sekolah Dalam Mendidik (bag. 2)

Diterbitkan : - Kategori : Artikel

Selain faktor guru yang kurang profesional, yang ikut menjadi sumber masalah di Sekolah kita adalah berjejalnya mata pelajaran yang diajarkan. Semua serba secuil dan nyaris tidak fokus. Sehingga kalau ditanya apakah sudah pernah belajar ilmu ini dan itu, jawabnya pasti sudah. Tetapi kalau pertanyaannya di balik, apa yang sudah dikuasai dengan baik dari ilmu ini dan itu, jawabnya tidak satu pun.

Ini mengenaskan.

Kita sibuk menjejalkan berbagai mata pelajaran di Sekolah, mulai dari yang penting sampai yang sama sekali tidak penting. Alasannya teramat klasik, yaitu sudah aturan dari `atas`. Saya tanya, dari atas mana?, lalu ada yang nyeletuk, dari atas pohon ustadz. Monyet kalee.

Ya, memang harus diakui bahwa kurikulum pendidikan nasional kita ini masih tidak punya fokus yang jelas. Mau dibawa kemana anak-anak kita?

Dan semakin ke bawah juga malah semakin tidak jelas. Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang banyak dikembangkan oleh teman-teman saya, bisa dijadikan contoh. Alih-alih mengurangi beban pelajaran, di sekolah yang `terpaksa pakai duit` itu jumlah mata pelajaran malah ditambah. Alhasil, para siswa pulang sore hari persis bapaknya juga pulang dari kantor. Jadi anak SD itu disamakan jam belajarnya dengan jam kerja orang dewasa.

Sebagian orang beranggapan dengan semakin dijejalinya anak-anak dengan ilmu, maka akan semakin baik. Anggapan ini di satu sisi ada baiknya, tetapi bukan berarti caranya dengan menjejalinya dengan beragam jenis mata pelajaran yang belum tentu dibutuhkan secara alam nyata. Apalagi bila gurunya juga bukan ahli di bidangnya, sekedar berpatokan kepada buku teks. Maka semakin menjadi neraka pula jam-jam pelajaran sekolah itu. Kalau ada anak stress karena kebanyakan beban pelajaran, itu memang sering terjadi di negeri kita.

Jumlah mata pelajaran tidak ekuivalen dengan kualitas

Itu kesimpulan saya pribadi, mungkin ada yang setuju, tapi saya yakin disana ada sejumlah orang yang marah-marah membaca tulisan ini. Nggak apa-apa lah.

Kenapa saya bilang begitu, karena saya punya bukti langsung yang menjawab masalah ini.

Ketika ada suatu kesempatan saya melawat ke Singapura untuk menghadiri undangan ceramah agama di KBRI kita disana, kebetulan bertemu dengan kawan lama yang kini menjadi guru madrasah (bukan SD) di negeri secuil dengan 4 juta rakyat itu.

Ustadz ini bercerita bahwa kurikulum sekolah disana hanya mewajibkan empat mata pelajaran buat anak-anak SD. Sempat kaget, saya bertanya,”Lho apa nggak kurang tuh? Di Madrasah yang saya pimpin, jumlah mata pelajaran sampai 18 biji dalam seminggu”. Beliau senyum dan balik bertanya,”Tapi para siswa bisa nggak menguasai dengan baik ke-18 mata pelajaran itu?”. Giliran saya yang bengong,”Nnng . . ng .. nggak tahu deh kalau urusan itu”, jawab saya sambil tersenyum kecut.

Ustadz sahabat saya ini mengatakan bahwa meski cuma empat mata pelajaran yang diajarkan, tetapi kesemuanya diajarkan oleh para ahli di bidang itu. Mereka bukan asal sekedar guru, tapi orang yang paling paham dan paling mengerti dengan bidang studi itu. Hmm, baru dari satu sisi ini saja saya jadi tahu, bahwa kita sudah kalah point.

Terus, beliau menambahkan, karena hanya empat mata pelajaran, maka keempatnya itu diajarkan setiap hari. Jadi tidak ada cerita anak kita sibuk membolak balik jadwal pelajaran setiap hari untuk memilih membawa buku apa saja di dalam tas. Karena tiap hari pelajarannya ya itu itu saja.

Bosan?

Tentu saja tidak, sebab pelajaran disampaikan lewat berbagai metode dan media, mulai dari tanya jawab, nonton film, membuka buku-buku di perpustakaan, menggunakan bergama alat peraga, bermain di dalam laboratorium bahkan kalau perlu diadakan pelajaran ke luar sekolah, seperti masuk ke pabrik-pabrik untuk mengetahui secara langsung bagaimana proses produksi suatu produk industri. Tetapi yang pasti, semuanya masih terkait dengan pelajaran yang empat itu.

Beda banget dengan studi wisata di sekolah kita, yang intinya cuma sekedar jalan-jalan di akhir tahun untuk menggratiskan guru-gurunya. hehehe buka kartu nih ye.

Ustadz kita ini juga mengilustrasikan bahwa guru-guru yang mengajar pun memang ahli di bidangnya, bukan tukang ojek yang sambil menunggu penumpang, terus nyambi jadi guru. Waduh, ente jangan pake nyindir gitu dong, saya protes nih, begitu saya bilang. Beliau tertawa lagi sambil meneruskan,”Jadi kalau sampai anak-anak SD di Singapura bisa cas-cis-cus berbicara bahasa Inggris meski asli melayu, karena memang kualitas pelajarannya tidak main-main. Guru bahasa Inggris pastinya orang yang sangat-sangat menguasai bidangnya, bukan hanya secara formal punya ijazah, tetapi memang orang yang bahasa Inggris menjadi bahasa sehari-harinya. Dia mengajar tiap hari di satu kelas dan anak-anak. Tiap hari mendapat asupan `gizi` bahasa Inggris, bagaimana tidak `gemuk`?, sambungnya.

Sambil pulang, di atas pesawat saya merenung, mestinya semua ini bisa dijadikan bahan pemikiran buat sekolah-sekolah Islam, kalau mau maju.

Tetapi waktu saya ceritakan hal ini ke kepala sekolah dan guru di madrasah yang bernaung di bawah Yayasan yang saya pimpin, mereka cuma manggut-manggut, tapi tetap `keukeuh` bilang bahwa tidak mungkin mengubah kurikulum yang sudah dipesan dari `atas`.

Yaelah, atas lagi, atas lagi, begitu saya mengeluh dalam hati.

Saya makin bingung, kenapa guru-guru kita kita kalau sudah bilang `atas`, rasanya kayak berhadapan sama tuhan. Kalau dari `atas` sudah ditetapkan kurikulumnya seperti itu, kayaknya lebih dari Al-Quran. Tidak bisa diotak-atik, walau pun kenyataannya sudah pasti siswa-siswinya tidak ada yang becus terhadap ilmu yang diajarkan.

Jadi pada kesempatan ini saya ingin bilang terus terang bahwa morat-maritnya dunia pendidikan kita, selain karena kurikulumnya seperti warung jajanan serba ada tapi tidak berkualitas, diperparah dengan mentalitas para guru dan penanggung-jawab sekolah pun tidak jauh berbeda dari mentalitas budak-budak Fir`aun yang disuruh membangun piramid.

Tapi saya sadar akhirnya, kenapa para guru lebih cenderung menghamba kepada kurikulum dari ` atas sana`, karena selain memang tidak mampu membuat kurikulum sendiri, memang sekolah guru (dulu SPG) atau fakultas pendidikan tempat mereka belajar menjadi guru di negeri kita, sejak dini sudah menanamkan aqidah dasar, bahwa guru adalah hamba negara. Jadi guru harus taat kepada peraturan dan kebijakan pemerintah, biarpun menghasilkan siswa bodoh sekalipun.

Toh bangsa kita tidak butuh orang pintar. Buktinya, Habibie yang terlalu pintar itu, cuma sebentar jadi Presiden, dan setelah itu malah tidak ada lowongan untuk kerja disini.

Sahabat saya Dr. Tommy Satriawahono yang jenius itu dan juga doktor komputer jebolan Jepang pun pada akhirnya memilih keluar dari institusinya, LIPI, karena menurut saya beliau itu terlalu pintar buat ukuran PNS di negeri kita.

Pak Onno W. Purbo juga keluar dari kedudukannya sebagai dosen negeri di ITB, mungkin juga karena beliau terlalu pintar.

Waduh!!!

(masih ada rencana bersambung, sih)