Kamis, 18-04-2024
  • MAN 6 Ciamis Ber-ADAB (Agamis, Disiplin, Amanah dan Berprestasi)

Kegagalan Sekolah Dalam Mendidik

Diterbitkan : - Kategori : Artikel

Salah satu contoh paling mudah untuk menyebutkan bagaimana gagalnya sekolah-sekolah kita dalam mendidik siswa-siswanya adalah masalah dalam pelajaran Bahasa Inggris. Setidaknya pelajaran Bahasa Inggris diajarkan di sekolah dua jam dalam seminggu, ada pula yang lebih dari itu. Logika akal sehat, kalau sejak SMP hingga SMA atau selama 6 tahun kita belajar, seharusnya kita bisa menggunakan Bahasa Inggris, baik untuk tulisan atau untuk bicara sehari-hari.

Saya dulu pertama kali mendapat mata pelajaran ini sejak kelas 1 SMP, tapi anak-anak kita sekarang ini sudah dikenalkan sejak kelas 1 SD. Logikanya, anak-anak sekarang ini seharusnya lebih pandai lagi berbahasa Inggris, karena lebih lama belajarnya, yaitu 6 tahun lebih banyak.

Tapi baik Saya mau pun anak-anak kita, meski sudah 6 tahun bahkan 12 tahun mendapat mata pelajaran Bahasa Inggris, rasanya tak sanggup kalau harus berkomunikasi dengan bule-bule itu. Dan membaca buku teks berbahasa Inggris pun tidak paham. Kalau nonton film barat yang tidak ada sub tittle (terjemahan teks), juga tetap tidak mengerti jalan ceritanya.

Terus, buat apa kita capek-capek belajar Bahasa Inggris selama 6 tahun itu? Dan buat apa anak-anak kita sekarang belajar Bahasa Inggris selama 12 tahun, sejak SD sampai kelas 12 SMU?

Sebagai pimpinan Yayasan Pendidikan yang terdiri dari beberapa unit sekolah formal, Saya punya tanggung jawab berat untuk memastikan bahwa siswa-siswi mendapatkan manfaat yang terbaik, dan juga bisa mengurai benang kusut masalah runyam dunia pendidikan kita.

Setelah Saya coba uraikan benang kusutnya, lama-lama ketahuan bahwa memang masalahnya sangat rumit dan njelimet. Tapi yang paling parah dari semua itu, ternyata guru bidang studi Bahasa Inggris rata-rata kurang menguasai bahasa itu, baik dalam bentuk tulisan apalagi percakapan. Selain tentunya juga faktor kurangnya jam pelajaran yang disediakan oleh kurikulum. Tapi untuk satu masalah ini, nanti akan Saya bahas tersendiri.

Kalau kita kembali ke faktor kemampuan guru, memang ini sangat memprihatinkan, bahkan mengenaskan. Ternyata meski menyandang status sebagai guru bahasa Inggris, belum tentu dia bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris, dan kalau bertemu dengan bule, belum tentu bisa berkomunikasi dengan baik.

Betapa menyedihkan. Dengan kapasitas yang sangat tidak mumpuni ini, berjuta anak Indonesia secara formal belajar Bahasa Inggris di sekolah, tetapi pada kenyataannya, mereka dipastikan tidak akan bisa apa-apa. Pepatah Arab pernah bilang, faqidusy-syai`i la yu`thihi, orang yang tidak punya apa-apa, tidak akan bisa memberikan apa-apa.

Tapi ketika hal ini Saya konfirmasi langsung ke guru Bahasa Inggris, salah satunya protes dan bilang begini,”Wah pak Ustadz jangan cuma menyalahkan kami dong. Pak ustadz juga harus tahu bahwa dosen Bahasa Inggris yang mengajar kami sewaktu kami masih kuliah dulu mereka juga tidak bisa berbahasa Inggris dalam arti percakapan. Beliau-beliau itu kemana-mana tetap saja membawa kamus”.

Terus saya jadi bengong sendiri sambil mikir,”Kalau memang begitu, masalahnya jadi lebih melebar lagi”. Maka Saya jadi tambah pening memimkirkan masalah ini, sambil putus asa Saya bergumam dalam hati : Jadi sebenarnya buat apa kita belajar Bahasa Inggris 12 tahun di sekolah?”.

Kalau dosen dan guru Bahasa Inggris sendiri bukan orang yang bisa membaca dan berkomunikasi dengan bahasa Inggris, lalu bagaimana logikanya sampai di bisa mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah? Apakah karena selembar ijazah?

Maka ide pribadi saya yang sudah pasti ditolak mentah-mentah oleh orang-orang di Diknas adalah : dari pada tidak jelas jeluntrungannya, mungkin ada baiknya pelajaran Bahasa Inggris dihapus saja dari kurikulum sekolah. Toh, bisa bahasa Inggris masih bisa didapat lewat kursus-kursus, yang kelihatannya malah lebih bisa menjanjikan.

Apalagi setiap lulusan kita melamar pekerjaan ke perusahaan asing, selalu diminta sertifikat kursus Bahasa Inggris, dan tidak cukup hanya ijazah SMU yang sebenarnya ada nilai bahasa Inggrisnya.

Begitu juga kalau mau kuliah di luar negeri, biasanya ada syarat nilai TOEFL sekian yang dijadikan ukuran. Sekolah-sekolah kita yang guru Bahasa Inggrisnya parah seperti itu, tentu tidak akan mampu mengeluarkan sertifikat seperti TOEFL.

Lab Bahasa

Ketersediaan laboratorium bahasa di beberapa sekolah maju juga tidak pernah menjadi jaminan bahwa siswa yang sekolah disana pasti pintar berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Selama sistem, guru, murid dan kurikulumnya belum mendukung, rasanya masih berat untuk berharap banyak.

Bahkan peralatan lab. bahasa yang juga mahal itu seringkali menjadi mubazir alias sia-sia belaka. Kebanyakannya cuma dijadikan media untuk berbangga-bangga saja oleh Kepala Sekolah dan keluarga besar sekolah itu, bahwa sekolah mereka sudah punya fasilitas ini dan itu. Tetapi apakah lab bahasa itu berfungsi secara maksimal, jawabannya wallahu a`lam

Bagaimana mau maksimal kalau guru bidang studi Bahasa Inggris-nya saja tidk bisa berbahasa Inggris?

Jadi dari pada nanggung, mendingan bahasa Inggris nggak usah diajarkan saja. Kecuali bila di sekolah itu memang ada guru yang cakap dan pandai berbahasa Inggris. Itu pun rasanya tidak perlu diajarkan untuk semua siswa. Sebab percuma saja kalau gurunya cuma satu tapi muridnya seribu orang, tetapi saja tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.

(mungkin bersambung)